BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2000 terjadi peningkatan
penyebaran epidemic HIV secara nyata melalui perkerja seks komersial, tetapi
ada fenomena baru penyebaran HIV/AIDS melalui pengguna narkoba suntuk. Tahun
2002 HIV sudah menyebar ke rumah tangga. Sejauh ini lebih dari 6,5 juta
perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30%
diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan
akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dan itu terinfeksi HIV.
Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya
meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena HIV. Kebanyakan wanita
mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri sendiri, sehingga
gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita
dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencakup penyuluhan
yang memaai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan
penularan pada anak dan keluarganya. Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan
seksual yang tidak aman, pemakaian narkoba injeksi dengan jumlah bergantian
bersama pengidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat
kesehatan yang tidak steril serta alat untuk menoreh kulit. Penyebab terjadinya
infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian
obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita heteroseksual 34%, transfuse darah
8%, dan tidak diketahui sebanyak 70%. Penularan HIV ke bayi dan anak bisA dari
ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks
(pelecehan seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita
yang menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun)
sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bias terjadi pada saat
kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah 0,01% sampai 0,7%. Bila
ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi
sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan
mencapai 50%.
Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.
Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari 2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.
Menurut Depkes
RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) atau Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan program pemerintah
untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada perempuan usia produktif,
kehamilan dengan HIV positif, penularan dari ibu hamil ke bayi yang
dikandungnya. Prevalensi kasus AIDS lebih besar karena merupakan kewajiban
untuk melaporkan kasus kematian karena AIDS, tetapi kasus HIV cenderung untuk
tidak dilaporkan. Kecenderungan tidak melaporkan ini secara tidak langsung
menunjukkan masih besarnya stigma terhadap HIV/AIDS di masyarakat. Seperti
fenomena gunung es, kasus HIV yang ada di masyarakat kemungkinan jauh
lebih besar daripada yang dilaporkan. Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi
HIV pada perempuan dan anak meningkat, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk
mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi antara lain dengan program PMTCT.
Program PMTCT dapat dilaksanakan pada perempuan usia produktif, melibatkan para
remaja pranikah dengan jalan menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS,
meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan
HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS), menjelaskan manfaat dari konseling
dan tes HIV/AIDS secara sukarela, melibatkan kelompok yang beresiko, petugas
lapangan, kader PKK, dan bidan.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa pengertian
dari Prevention Of Mother To Child Transmisson (PMTCT) ?
1.2.2
Bagaimana
tujuan, strategi dan sasaran program PMTCT
?
1.2.3
Bagaimana
bentuk-bentuk intervensi dari program PMTCT
?
1.2.4
Apa saja kebijakan pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Bayi ?
1.2.5
Bagaimanakah jalinan kerjasama kegiatan
PMTCT antara sarana kesehatan dan organisasi masyarakat ?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian dari Prevention Of Mother To Child Transmisson (PMTCT)
1.3.2
Untuk mengetahui tujuan, strategi dan sasaran program PMTCT
1.3.3
Untuk mengetahui bentuk-bentuk intervensi dari program PMTCT
1.3.4
Untuk mengtahui kebijakan pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
1.3.5
Untuk menetahui alur jalinan kerjasama
kegiatan PMTCT antara sarana kesehatan dan organisasi masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Prevention Of Mother To
Child Transmisson (PMTCT)
Pelayanan
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Prevention of Mother to Child HIV
Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari pelayanan perawatan, dukungan
dan Pengobatan/CST bagi pasien HIV/AIDS. Pelayanan PMCT menjadi perhatian
karena epidemic HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat, dimana penularan
HIV dari ibu ke anak terus meningkat seiring bertambahnya jumlah perempuan
pengidap HIV , dari data pada tahun 2008 dari jumlah ibu hamil yang mengikuti
test HIV sebanyak 5.167 orang dimana 1.306 (25%) diantaranya positive HIV.
Meningkatnya jumlah perempuan hamil yang positif, akan meningkat pula kebutuhan
untuk layanan PMTCT berdasarkan hasil proyeksi dan pemodelan epidemic HIV,
jumlah ibu hamil yang positif memerlukan pelayanan PMTCT akan meningkat dari
5.730 orang pada tahun 2010 menjadi 8170 pada tahun 2014. Dengan
mempertimbangkan keadaan geografis wilayah Indonesia yang luas serta terdiri
dari kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di seluruh
wilayah sehingga akan mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan
terutama di daerah terpencil atau pelosok, sedangkan terus terjadi peningkatan
penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Anak, untuk mengoptimalkan pelayanan PMTCT perlu
adanya pemanfaatan teknologi komunikasi sebagai alternative dalam pelaksanaan
program PMTCT yang memberikan layanan kesehatan jarak jauh.
2.2
Tujuan, Strategi dan Sasaran program PMTCT
Ø Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk:
1.
Mencegah Penularan HIV dari
Ibu ke Bayi.
Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari
ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak.
Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu laksana guna
menekan proses penularan tersebut.
2.
Mengurangi dampak epidemi
HIV terhadap Ibu dan Bayi.
Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan
produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh Odha dan
masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas
terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu
diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari
terjadinya dampak akhir tersebut.
Ø Srategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, yaitu:
1.
Pencegahan penularan HIV
pada perempuan usia reproduktif
2.
Pencegahan kehamilan yang
tidak direncananakan pada ibu dengan status pisitif HIV
3.
Pencegahan terjadinya
penularan HIV, dari ibu yang Positif HIV kepada bayi yang dikandungnya
4.
Merujuk ibu dengan HIV
positif ke sarana pelayanan kesehatan
tingkat Kabupaten atau Provinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut
Ø Sasaran Program PMTCT, antara lain:
1.
Peningkatan Kemampuan
Manajemen Pengelola Program PMTCT
2.
Peningkatan akses informasi
mengenai PMTCT
3.
Peningkatan akses intervensi
PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan nifas
4.
Peningkatan akses pelayanan
Dukungan Perawatan dan Pengobatan (Care, Support dan Treatment) bagi ibu
dan bayi.
2.3 Bentuk-bentuk
Intervensi PMTCT
Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan
intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 –
45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun
terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti,
jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV
positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep
dasar,yaitu:
1.
Mengurangi jumlah ibu hamil
dengan HIV positif, berarti penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi
terjadi trans plasenta dan intrapartum (persalinan). Terdapat perbedaan variasi
risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung
sifat infeksi terhadap ibu yakni Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus,
HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi
Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan transmisi
vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada
dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan
alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil
setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk
mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di
atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang
dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur.
2.
Menurunkan viral load
serendah-rendahnya, obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru
berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total
keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan
utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus
3.
Meminimalkan paparan
janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu positif HIV persalinan secarea
berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada ODHA. Pada saat
persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi
mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut
(secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka
dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan
pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi
vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). Telah dicatat adanya penularan
melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain,
jarang dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalamkolustrum
dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak . Oleh
karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk
mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula
kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan, yaitu AFASS
dari WHO (Acceptable= mudah diterima, Feasible=
mudah dilakukan, Affordable= harga terjangkau, Sustainable=
berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya). Pada daerah tertentu
dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV
positif dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3
bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS
sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya
diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan
pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu
formula/ PASI lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan
mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut
diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk
transmisi melalui mukosa usus. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan
bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka
putting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara
menyusui yang baik.
4.
Mengoptimalkan kesehatan ibu
dengan HIV positif, melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan
kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan
kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup
istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu
diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan
superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan
ODHA.
2.4 Kebijakan
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Data
Epidemiologi dalam publikasi rekomendasi WHO maupun UNAIDS tahun 2010,
dikatakan bahwa terdapat 33,4 juta orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia.
Sebanyak 15,7 juta (47%) diantaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun. Secara global, HIV merupakan penyebab utama
kematian perempuan usia reproduksi. Selama tahun 2008 terdapat 1,4 juta
perempuan dengan HIV positif melahirkan di negara berkembang dan terjadi
430,000 bayi terinfeksi HIV. Di Indonesia, hingga akhir tahun 2010 dilaporkan
sekitar 24,000 kasus AIDS dan 62.000 kasus HIV. Sekitar 62,7% berjenis kelamin
laki-laki dan 37,7% berjenis kelamin perempuan. Menurut golongan umur, proporsi
terbesar terdapat pada kelompok usia muda, yaitu 20–29 tahun sebanyak47,4%.
Estimasi kasus HIV/AIDS usia 15-49 tahun di seluruh Indonesia diperkirakan
186,257 (132.089-287.357). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia
tergolong rendah (kurang dari 0,2%), tetapi sejak tahun 2005 Indonesia telah
dikategorikan sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena
terdapat daerah-daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada populasi
tertentu, kecuali Papua (sudah termasuk populasi umum yaitu 2,4%). Penularan
HIV dari ibu ke bayi ini dapat dicegah dengan program PMTCT. Di negara maju, risiko
seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar < 2%, hal ini karena
tersedianya layanan optimal untuk pencegahanpenularan HIV dari ibu ke bayi.
Tetapi di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses
intervensi, risikonya penularan meningkat menjadi antara 25%–45%. Walaupun
berbagai upaya telah dilaksanakan selama beberapa tahun, ternyata cakupan PMTCT
masih rendah, yaitu 10% di tahun 2004,kemudian meningkat menjadi 35% pada tahun
2007 dan 45% di tahun2008 sesuai dengan laporan Universal Akses 2009. Bahkan
pada laporan Universal Akses 2010, cakupan layanan PMTCT di Indonesia masih
sangat rendah, yaitu sebesar 6%, sehingga upaya peningkatan cakupan sejalan
dengan program pencegahan perlu ditingkatkan.
Kebijakan
dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014 dari Menkokesra dan Rencana
Aksi Kegiatan Pengendalian AIDS dari Kemenkes, menegaskan pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi atau dikenal dengan Prevention of Mother To Child
Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian
HIV/AIDS. Dalam rangka meningkatkan cakupan Program Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Bayi di Indonesia perlu adanya kerja sama antara berbagai sektor
terkait, organisasi profesi, organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Kebijakan umum Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Bayi sejalan dengan kebijakan umum kesehatan ibu dan anak serta kebijakan
pengendalian HIV/AIDS di Indonesia. Tes HIV merupakan pemeriksaan rutin yang
ditawarkan kepada ibu hamil. Pada ibu hamil dengan hasil pemeriksaan HIV
reaktif, ditawari pemeriksaan infeksi menular seksual lainnya terutama sifilis.
Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi diintegrasikan dengan paket
pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta layanan KeluargaBerencana di tiap
jenjang pelayanan kesehatan. Semua perempuan yang datang ke pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak dan layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan
mendapatkan informasi pencegahan penularan HIV selama masa kehamilan dan
menyusui. Untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong,yaitu:
- Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi.
Langkah dini
yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah
dengan mencegah perempuan usia reproduksi untuk tertular HIV. Strategi ini bisa
juga dinamakan pencegahan primer (primary prevention). Pendekatan pencegahan
primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini,
bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Artinya, mencegah perempuan muda di
usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya agar tidak terinfeksi HIV. Dengan
mencegah infeksi HIV pada perempuan usia reproduksi atau ibu hamil, maka bisa
dijamin pencegahan penularan HIV ke bayi. Untuk menghindari penularan HIV,
pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat menggunakan konsep “ABCD”,
yang artinya :
o
A (Abstinence), artinya Absen seks
ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah
o
B (Be Faithful), artinya Bersikap saling
setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti)
o
C (Condom), artinya cegah penularan HIV
melalui hubungan seksual dengan menggunakan Kondom
o
D
(Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
Beberapa
aktivitas yang dapat dilakukan pada Prong (pencegahan primer) antara lain:
1.
Menyebarluaskan informasi tentang
HIV/AIDS baik secara individu maupun secarakelompok, yaitudengan cara: meningkatkan
kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan HIV dan IMS, menjelaskan
manfaat dari konseling dan tes HIV, meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan
dalam penatalaksanaan ODHA perempuan.
2.
Mobilisasi masyarakat dengan melibatkan
petugas lapangan (kader PKK) untuk memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS
kepada masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan,
menjelaskan tentang pengurangan risiko penularan HIV dan IMS (termasuk
penggunaan kondom dan alat suntik steril), melibatkan tokoh agama dan tokoh
masyarakat dalam menghilangkan stigmatisasi dan diskriminasi.
3.
Konseling untuk perempuan HIV negative,
ibu hamil yang hasilnya tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya
tetap HIV negative, menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV, membuat
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang bersahabat untuk pria sehingga mudah
diakses oleh suami/pasangan ibu hamil.
4.
Mengadakan kegiatan ‘kunjungan pasangan’
pada kunjungan ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan memberikan informasi
kepada suami bahwa jika ia melakukan seks tak aman akan bisa membawa kematian
bagi calon bayinya, termasuk istrinya dan dirinya sendiri. Para suami biasanya
memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi keluarganya. Informasi ini akan
lebih efektif diterima suami jika disampaikan oleh petugas kesehatan di klinik
kesehatan ibu dan anak ketika ia mengantarkan istrinya. Ketika ibu melahirkan
bayinya di rumah sakit ataupun klinik, biasanya ibu diantar oleh suaminya. Pada
saat itu, perasaan suami sangat bangga dan mencintai istri dan anaknya. Saat
tersebut akan efektif untuk menyampaikan informasi kepada suami untuk
menghindari perilaku seks tak aman dan informasi tentang pemakaian kondom. Peningkatan
pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil, akan membuat adanya dialog yang
lebih terbuka antara suami dan istri/pasangannya tentang seks aman dan perilaku
seksual. Sebaiknya, materi penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi bagian dari pelatihan
keterampilan hidup (life skill training) bagi remaja sehinggasejak dini mereka
belajar tentang cara melindungi keluarga merekakelak dari ancaman penularan
HIV. Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi juga penting
disampaikan kepada masyarakat luas untuk memperkuat dukungan kepada
perempuanyang mengalami masalah seputar penularan HIV dari ibu ke bayi. Upaya
mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi menjadi sangat penting
dilakukan pada saat selama kehamilan, selama persalinan dan selama masa
menyusui. Hal ini dikarenakan kadar HIV tertinggi di tubuh ODHA berada pada
minggu-minggu pertama setelah seseorang terinfeksi. Jumlah kadar HIV yang
tinggi akan meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Oleh karenanya,
risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi lebih besar jika ibu terinfeksi
HIV selama kehamilan ataupun masa menyusui.
·
Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak
Direncanakan pada Perempuan HIV Positif.
Salah satu cara
efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi adalah dengan
mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif usia
reproduksi. Hal yang dibutuhkan adalah layanan konseling dan tes HIV dan sarana
kontrasepsi yang aman dan efektif untuk pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan. Penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling
yang berkualitas akan membantu perempuan HIV positif dalam melakukan seks yang
aman, mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari
lahirnya anak-anak yang terinfeksi HIV. Ibu HIV positif mungkin cukup yakin
untuk tidak ingin menambah jumlah anaknya karena khawatir bayinya tertular HIV
dan menjadi yatim piatu di usia muda. Namun dengan adanya kemajuan intervensi
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, ibu HIV positif dapat merencanakan
kehamilannya. Sebagian dari mereka yakin untuk bisa punya anak yang tidak
terinfeksi HIV. Konselor hanya bisa memberikan informasi yang lengkap tentang
berbagai kemungkinan, baik tentang kemungkinan terjadinya penularan, maupun
peluang bayi untuk tidak terinfeksi HIV.
Ibu HIV positif
berhak menentukan keputusannya sendiri. Ibu HIVpositif sebaiknya tidak dipaksa
untuk tidak hamil ataupun menghentikan kehamilannya (aborsi). Mereka harus
mendapatkan informasi yang akurat tentang risiko penularan HIV ke bayi,
sehingga mereka dapat membuat pemikiran sendiri setelah berkonsultasi dengan suami
dan keluarganya. Di Indonesia, umumnya keinginan ibu untuk memiliki anak amat kuat,
dan ibu akan kehilangan status sosialnya jika tidak mampu menjadi seorang ibu
yang melahirkan anak. Jika kondisi fisik ibu HIVpositif cukup baik, risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi sebenarnya menjadi kecil. Artinya, ia mempunyai
peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Tetapi, ibu HIV positif yang
memiliki banyak tanda penyakit dan gejala HIV akan lebih berisiko menularkan
HIV ke bayinya,sehingga ibu tersebut perlu mendapatkan pelayanan konseling
secara cermat untuk memastikan bahwa mereka benar-benar paham akan risiko
tersebut dan telah berpikir bagaimana merawat si bayi jika mereka telah
meninggal karena AIDS. Jika ibu HIV positif tetap ingin memiliki anak, WHO
menganjurkan jarak antar kelahiran minimal dua tahun. Untuk menunda kehamilan, alat
kontrasepsi yang dianjurkan adalah kontrasepsi mantap (IUD maupun kontrasepsi
hormonal) dengan didampingi penggunaan kondom untuk mencegah terjadinya penularan
infeksi HIV dan IMS. Jika memutuskan tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi
yang palingtepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi). Apapun cara
kontrasepsi yang dipilih untuk mencegah penularaninfeksi HIV maupun IMS, setiap
berhubungan seks dengan pasangannya harus menggunakan kondom. Beberapa
aktivitas untuk mencegah kehamilan yang tidakdirencanakan pada ibu HIV positif
antara lain: Mengadakan KIE tentang HIV/AIDS dan perilaku seks aman, menjalankan
konseling dan tes HIV sukarela untuk pasangan, melakukan upaya pencegahan dan
pengobatan IMS melakukan promosi penggunaan kondom, menganjurkan perempuan HIV
positif mengikuti keluarga berencana dengan cara yang tepat, senantiasa
menerapkan kewaspadaan standar, membentuk dan menjalankan layanan rujukan bagi
perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan.
·
Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
Hamil HIV Positif ke Bayi
Strategi
pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan
inti dari intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Bentuk-bentuk
intervensi tersebut adalah :
1.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang
komprehensif meliputi layanan pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan
anak. Pelayanan kesehatan ibu dan anak bisa menjadi awal atau pintu masuk upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi bagi seorang ibu hamil. Pemberian
informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik kesehatan ibu dan
anak akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan
adanya risiko penularan HIV diantara mereka, termasuk juga risiko lanjutan
berupa penularan HIV dari ibu ke bayi. Harapannya, dengan kesadarannya sendiri
mereka akan sukarela melakukan konseling dan tes HIV. Berbagai bentuk layanan
yang diberikan klinik kesehatan ibu dan anak, seperti : imunisasi untuk ibu,
pemeriksaan IMS terutama siifilis, pemberian suplemen zat besi, dapat
meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil HIV positif.
Hendaknya klinik kesehatan ibu dan anak juga menjangkau dan melayani suami atau
pasangannya sehingga terdapat keterlibatan aktif para suami atau pasangannya
dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
2.
Layanan konseling dan tes HIV
Layanan
Konseling dan Tes Sukarela Layanan konseling dan tes HIV sukarela atau
Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu komponen penting
dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Cara untuk mengetahui
status HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah
didahului dengan konseling sebelum dan sesudah tes, menjaga kerahasiaan serta
adanya persetujuan tertulis (informed consent). Jika status HIV sudah
diketahui, untuk ibu dengan status HIV positif dilakukan intervensi agar ibu
tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Untuk yang HIV negatif sekalipun
masih dapat berkontribusi dalam upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi,
karena dengan adanya konseling perempuan tersebut akan semakin paham tentang
bagaimana menjaga perilakunya agar tetap berstatus HIV negatif. Layanan
konseling dan tes HIV tersebut dijalankan di layanan kesehatan ibu dan anak dan
layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Layanan
konseling dan tes HIV akan sangat baik jika diintegrasikan dengan pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, dengan alasan menjadikan
konseling dan tes HIV sukarela sebagai sebuah layanan rutin di layanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana (ditawarkan kepada semua
pengunjung) akan mengurangi stigma terhadap HIV/AIDS, layanan rutin konseling
dan tes HIV sukarela di pelayanan kesehatan ibu dan anak akan menjangkau banyak
ibu hamil, menjalankan konseling dan tes HIV sukarela di klinik kesehatan ibu
dan anak akan mengintegrasikan program HIV/AIDS dengan layanan kesehatan lainnya,
seperti pengobatan IMS dan infeksi lainnya, pemberian gizi, dan keluarga
berencana. Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan konseling dan tes HIV untuk pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV. Tes HIV
merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu hamil. Ibu hamil
menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri
keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Layanan tes HIV untuk program
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dipromosikan dan dimungkinkan tidak
hanya untuk perempuan, namun juga diperuntukan bagi pasangan laki-lakinya. Pada
tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV dalam
paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus
ada petugas yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Pada
pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan Keluarga Berencana yang memberikan
layanan konseling dan tes HIV, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi
perempuan HIV negatif diberikan informasi dan bimbingan untuk tetap HIV negatif
selama kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti
proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Tes Diagnostik HIV Prosedur
pemeriksaan diagnostik HIV menggunakan metode strategi 3 yaitu pemeriksaan tes
HIV secara serial dengan menggunakan tiga reagen yang berbeda. Test HIV yang
disediakan oleh Kementerian Kesehatan adalah pemeriksaan dengan tiga reagen
rapid HIV. Namun untuk sarana kesehatan yang memiliki fasilitas yang lebih
baik, test HIV bisa dikonfirmasi dengan pemeriksaan ELISA. Pemilihan jenis
reagen yang digunakan berdasarkan sensitifitas dan spesifisitasnya, yang
merujuk pada standar nasional.
3.
Pemberian obat antiretroviral
Pada
ODHA dewasa, penentuan saat yang tepat memulai terapi obat antiretroviral (ARV)
selain dengan menggunakan stadium klinis, diperlukan pemeriksaan CD4. Namun
pada kebijakan PMTCT 2011, ARV diberikan kepada semua perempuan hamil HIV
positif tanpa harus memeriksakan kondisi CD4-nya lebih dahulu. Penentuan
stadium HIV/AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan berdasarkan kondisi klinis
pasien dan dengan atau tanpa pemeriksaan CD4. CD4 untuk ibu hamil positif HIV
digunakan untuk memantau pengobatan. Waktu yang tepat untuk Pemberian ARV
Populasi Target Pedoman pemberian ARV tahun 2010 Pasien naive dengan CD4 ≤350
sel/mm3HIV+ asimtomatikPasien naive HIV+ Stadium 2 dengan CD4 ≤350
sel/mm3dengan gejala atau Stadium 3 atau 4 tanpa memandang nilai CD4nya Ibu
Hamil. Semua ibu hamil diberi ARV tanpa memandang nilai CD4nya. tanpa indikasi:
ARV pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, dengan indikasi: segera berikan ARV
Pemberian ARV pada ibu hamil HIV positif selain dapatmengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke bayinnya,untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu
dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pemberian ARV sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi klinis yang sedang dialami oleh ibu. Data yang
tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama kehamilan dan
dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi yang paling efektif untuk
kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi
pada kelompok wanita dengan risiko tinggi.
·
Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis,
Sosial dan Perawatan kepada Ibu HIV Positif Beserta Bayi dan Keluarganya
Upaya pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Ibu
tersebut akan terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, ia membutuhkan
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama
karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat
terhadap ODHA. Sangat penting dijaga faktor kerahasiaan status HIV si ibu.
Dukungan juga harus diberikan kepada bayi dan keluarganya. Beberapa hal yang
mungkin dibutuhkan oleh ibu HIV positif antara lain: pengobatan ARV jangka
panjang, pengobatan gejala penyakitnya, pemeriksaan kondisi kesehatan dan
pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 ataupun viral load ), informasi dan edukasi
pemberian makanan bayi, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk
dirinya dan bayinya, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan
HIV dan pencegahannya, layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat, kunjungan
ke rumah (home visit), dukungan teman-teman sesama HIV positif (terlebih sesama
ibu HIV positif), didampingi jika sedang dirawat dan dukungan dari pasangan. Dengan
dukungan psikososial yang baik, ibu HIV positif akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan
positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya dan berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain. Informasi
tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui oleh
masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif. Diharapkan informasi
ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti
konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka.
2.5
Jalinan Kerjasama Kegiatan PMTCT antara
Sarana Kesehatan dan Organisasi Masyarakat
Jalinan
kerjasama kegiatan PMTCT antara sarana Kesehatan dan organisasi masyarakat merupakan
faktor penting dalam kegiatan PMTCT komprehensif yang meliputi 4 Prong. Jalinan
kerjasama tersebut akan mengatasi kendala medis yang menyangkut tes HIV, ARV,
CD4, viral load, persalinan aman, serta kendala psikososial seperti kebutuhan
dampingan ,kunjungan rumah, bimbingan perubahan perilaku dan kesulitan ekonomi keluarga
ODHA. Dengan adanya jejaring (networking) PMTCT yang baik disebuah daerah,
diharapkan akan terbentuk layanan PMTCT berkualitas yang dibutuhkan oleh
perempuan usia reproduktif, ibu hamil, perempuanHIV positif, ibu hamil HIV
positif beserta pasangan dan keluarganya.Bentuk jalinan kerjasama yang perlu
dikembangkan antara lain memperkuat sistem rujukan klien, memperlancar hubungan
komunikasi untuk saling berbagi informasi tentang situasi dan jenis layanan
yangdiberikan dan membentuk sistem penanganan kasus secara bersama.
Uraian Tugas dan
Ruang Lingkup Dalam jejaring PMTCT, setiap institusi memiliki peran tersendiri
yang terintegrasi dan saling berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana
kesehatan, pelayanan PMTCT dijalankan oleh Puskesmas dan rumah sakit, serta
bidan praktek swasta. Sedangkan di tingkat masyarakat, pelayanan PMTCT
dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) ODHA. Pelayanan PMTCT di Puskesmas dan jajarannya (puskesmas
pembantu dan puskesmas keliling) meliputi pelayanan konseling sebelum dan
sesudah tes HIV, pelayanan tes HIV, rujukan ke rumah sakit rujukan AIDS serta
dukungan yang terintegrasi dengan pelayanan KIA (meliputi pelayanan antenatal,
persalinan, nifas bayi baru lahir) dan pelayanan KB (konseling pilihan alat
kontrasepsi bagi perempuan HIVpositif), termasuk menerima rujukan dari pelayanan
PMTCT berbasis masyarakat yang dijalankan oleh LSM ataupun KDS. Dengan
demikian,Puskesmas menjalankan Prong 1, 2, dan 3 dari kegiatan PMTCT komprehensif.
Pelayanan PMTCT di rumah sakit dilaksanakan secara terintegrasi dengan
pelayanan asuhan antenatal, persalinan dan pasca persalinan kepada ibu,
pasangan dan bayinya. Pelayanan tersebut meliputi konseling sebelum dan sesudah
tes HIV, pemeriksaan laboratorium darah HIV, IMS, TB-HIV, KB, ARV profilaksis,
tes CD4, VL dan pengobatan jangka panjang, kemoprofilaksis, persalinan yang
aman, penatalaksanaan perawatan bayi termasuk dukungan dan perawatan. Dengan
demikian, rumah sakit secara khusus menjalankan Prong 3 dari kegiatan PMTCT
komprehensif. Selain Puskesmas dan rumah sakit, pelayanan PMTCT bisa pula dijalankan
oleh bidan praktek swasta. Bidan terlatih diharapkan mamp umelakukan penilaian
(assesment) perilaku terhadap ibu hamil yang berkunjung ke kliniknya. Jika
perilakunya dinilai berisiko tertular HIV,maka ibu hamil tersebut dirujuk oleh
bidan ke Puskesmas ataupun rumah sakit untuk menjalani VCT dan mendapatkan
layanan lanjutan jika hasil tesnya HIV positif. Bidan diharapkan mampu pula
melakukan konseling terhadap kehamilan ibu HIV positif, konseling pilihan persalinan,
serta melakukan persalinan pervaginam terhadap ibu HIV positif. Untuk
persalinan seksio sesarea, bidan merujuk ibu hamil kerumah sakit. Bidan praktek
swasta menjalankan Prong 1,2, 3 dari kegiatan PMTCT komprehensif. Peran LSM
dalam memberikan pelayanan PMTCT antara lain melakukan penyuluhan PMTCT kepada
perempuan usia reproduktif, ibu hamil, perempuan HIV positif, ibu hamil HIV
positif beserta pasangan dan keluarganya, memobilisasi ibu hamil untuk
menjalani VCT di Puskesmas, rumah sakit, ataupun mobile-VCT LSM bekerjasama
dengan kader masyarakat (PKK/posyandu), mengajak laki-laki/pasangan ibu hamil
untuk terlibat aktif selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, memberikan
konseling dan bimbingan kepada ibu hamil HIV positif(pilihan persalinan dan
makanan bayi), memberikan konseling perencanaan kehamilan kepada perempuan HIV
positif, memberikan dampingan terhadap ibu HIV positif (kunjungan rumah,bantuan/dukungan
ekonomi keluarga), membentuk dan mengaktifkan kegiatan support group perempuan
HIV positif, serta layanan rujukan ke Puskesmas ataupun rumah sakit.
Melihat bentuk aktivitas yang dijalankan, maka
LSM menjalankan Prong 1, 2, dan 4 dari kegiatanPMTCT. Seiring dengan
keterlibatan yang makin aktif dari orang yangterinfeksi HIV, KDS memiliki peran
dalam pelayanan PMTCT dengan menjalankan kegiatan penyuluhan PMTCT bagi
perempuan HIV positif dan ibu hamil HIV positif, memberikan dukungan sebaya
dalam kegiatan support group, mendampingi anggota KDS yang sedang menjalani
terapi pengobatan, melakukan advokasi
kepada pembuat kebijakan dan sarana kesehatan terhadap pelayanan PMTCT yang
dibutuhkan perempuan HIV positif serta layanan rujukan ke Puskesmas ataupun rumah
sakit. Seperti LSM, KDS menjalankan Prong 1, 2, dan 4 dari kegiatan PMTCT. Agar
peran masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan danketerampilan pelayanan PMTCT yang memadai.
Untuk itu, diperlukanadanya pelatihan-pelatihan PMTCT yang berorientasi
terhadap kebutuhan pelayanan di lapangan. Kegiatan pelatihan-pelatihan tersebut
memerlukan dukungan dari ikatan profesi, seperti IDI, IDAI, POGI, IBI,PAPDI,
PDUI, PPNI serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi juga berperan memantau
kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin pemberian pelayanan yang berkualitas,
serta menjalin koordinasi antar ikatan profesi dan bermitra dengan stackholders
lainnya. Alur Rujukan Jejaring pelayanan PMTCT komprehensif seperti di atas
perlu dibentuk dan diaktifkan oleh Dinas Kesehatan pada masing-masing Provinsi
dengan koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ø Menurut
Depkes RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) atau Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan program pemerintah
untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada perempuan usia produktif,
kehamilan dengan HIV positif, penularan dari ibu hamil ke bayi yang
dikandungnya.
Ø Menurut
WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV pada perempuan dan anak meningkat,
sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil
ke bayi antara lain dengan program PMTCT. Program PMTCT dapat dilaksanakan pada
perempuan usia produktif, melibatkan para remaja pranikah dengan jalan
menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran perempuan
tentang bagaimana cara menghindari penularan HIV/AIDS dan infeksi menular
seksual (IMS), menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV/AIDS secara
sukarela, melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK, dan
bidan.
Untuk
mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong,yaitu:
- Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi.
- Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan HIV Positif
·
Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu Hamil HIV Positif ke Bayi
·
Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis,
Sosial dan Perawatan kepada Ibu HIV Positif Beserta Bayi dan Keluarganya
Untuk
menjalankan semua kegiatan dan program PMTCT, maka perlu ada kerja sama antar
Ikatan profesi yang berperan memantau kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin
pemberian pelayanan yang berkualitas, serta menjalin koordinasi antar ikatan
profesi dan bermitra dengan stackholders lainnya. Alur Rujukan Jejaring
pelayanan PMTCT komprehensif seperti di atas perlu dibentuk dan diaktifkan oleh
Dinas Kesehatan pada masing-masing Provinsi dengan koordinasi Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi.
3.2
Saran
Kita
harus benar-benar mengerti dan memahami mengenai pentingnya program PMTCT untuk
mencegah peningkatan penularan HIV baik dari ibu yang positif HIV kepada bayi
yang sedang dikandungnya dan memberikan pendidikan konseling serta informasi
kepada para remaja, ibu hamil dan semua kalangan masyarakat tentang bahaya dan
penularan HIV untuk menekan peningkatan penularan kasus ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar